Medan, (UIN Sumut)
Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut) Prof Dr Syahrin Harahap, MA memimpin pengujian sidang promosi doktor atas nama Aprilinda M Harahap dengan judul disertasi ‘Keberagamaan narapidana perempuan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Tanjung Gusta Kota Medan’.
Simpulan bernas dari penelitian tersebut yakni penyuluhan dan pembinaan keagamaan di lapas perempuan dinilai masih belum optimal dan bisa disinergikan dengan UIN Sumut. Bertindak sebagai penguji sidang promosi doktor kali ini Prof Dr Syahrin Harahap, MA, Prof Dr Sukiman, MA, Prof Dr Katimin, MAg, Prof Dr Hasan Bakti Nasution, MAg dan Prof Dr Eka Srimulyani, MA, PhD. Sidang digelar di kampus II Jalan Willem Iskander Medan, Kamis (18/3).
Aprilinda Harahap dalam paparan penelitiannya menyampaikan, latar belakang kajian akademik terhadap fenomena yang diangkat tersebut berawal dari dialognya dengan mantan narapidana perempuan yang sudah selesai masa hukuman dan keluar dari tahanan. Ia menemukan, mantan napi perempuan merasa tidak punya cukup bekal dan keterpurukan setelah kembali di tengah masyarakat. Hal itulah menjadi pemicu untuk mendalami dan mengangkat fenomena tersebut dalam penelitian.
Melalui pendekatan aspek jasmani dan rohani setiap manusia, ia menjelaskan, aspek jasmani merupakan hal-hal horizonal yang bersifat nyata dan realistis, diperlukan untuk melengkapi akvitias hidup manusia. Begitu juga dengan aspek rohani, yakni hubungan vertikal dan interaksi dengan nilai-nilai ketuhanan dan spritualisme yang tidak bisa lepas dari esensi dan harus diakui semua manusia di atas bumi ini. “Dua unsur ini melekat pada setiap orang,” ujarnya.
Mengerucutkan pada penelitian, aspek rohani tersebut harus diformulasikan dalam tingkah laku yang terbingkai dalam ajaran agama meliputi pemahaman, pengamalan dan perilaku seseorang yang tercermin dalam kehidupannya. Sebagai subjek hukum, perempuan mendapat perlakuan sama namun jumlahnya narapidana perempuan dan laki-laki satu banding 10, namun disayangkan, perempuan dalam hal ini lebih menjadi sorotan publik.
Dalam fungsi pembinaan masyarakat, lapas melaksanakan berbagai kegiatan pembinaan, pendidikan dan penyuluhan keagamaan kepada narapidana perempuan. Dengan target untuk merubah, memahamkan nilai keagamanaan dan wawasan kebangsaan sehingga diterapkan dalam perilaku warga binaan, berikut pula dengan keterampilan yang dibekali. Sehingga diharapkan bisa kembali secara optimal dan berkontribusi di tengah masyarakat. “Penulis ingin meneliti bagaimana pembinaan keberagamaan yang dilakukan di lapas perempuan, dengan rumusan masalah bagaimana pembinaan keagamaan narapidana di lapas perempuan dan bagaimana pemahaman, pengamalan dan perilaku napi perempuan,” urainya.
Dengan metode analisis tertentu dan dengan disertasi kualitatif diolah berbagai data penelitian yakni data primer dan sekunder. Data primer dari wawancara langsung dengan warga binaan dan data sekunder meliputi wawancara petugas lapas, keluarga yang menjenguk dan studi dokumentasi. Sampel digunakan yakni 50 warga binaan dari 561 napi perempuan. Dengan analisa data induktif, proses, berbagai temuan yang terjadi secara alami, penulis menafsirkan dan menarik kesimpulan. “Teori digunakan yakni teori agama, psikologi agama dan filsafat agama,” tukas Aprilinda.
Simpulan penelitian, jelasnya, pemahaman keberagamaan warga binaan perempuan memang ada dijalankan di lapas, namun dinilai masih sederhana hanya sesuai penjadwalan dari pihak lapas. Seperti mengadakan pengajian, mendatangkan penceramah, penyuluh agama namun tidak dilakukan secara berkesinambungan.
Hal tersebut diperparah dengan pemahaman warga binaan yang terbatas, karena didominasi latar belakang pendidikan yang hanya tamat SMA dan SMP, hanya tiga persen yang tamatan perguruan tinggi. “Dari fenomena ini, membuktikan, mereka perlu pembinaan yang intensif soal keberagamaan. Karena aspek itu cukup sentral, meliputi perbaikan aspek rohani manusia,” ujarnya.
Untuk pengamalan nilai-nilai agama, juga dinilai masih bisa ditingkatkan. Walau begitu, warga binaan perempuan diberikan fasilitas untuk beribadah seperti musala untuk muslim dan berbagai tempat ibadah agama lainnya. Namun umumnya lapas lain, lapas tersebut kelebihan kapasitas dan perlu diatasi.
Begitu pun hubungan sosial selama warga binaan belum begitu harmonis. Harusnya, pembinaan keagamaan dalam lapas harus terukur dan terformulasi dengan baik. Kita tawarkan menggunakan teori keberagamaan dengan pendekatan ontologis.
“Intinya, pembinaan keagamaan di lapas untuk warga binaan perempuan ada, namun belum maksimal. Maka usulannya perlu ada kerja sama antar lembaga yang berwenang terkait hal itu. UIN Sumut bisa menjadi konselor atau konsultan yang bisa memberikan bimbingan terkait keberagamaan dan pembinaan agama di lapas. Hal itu bisa dimaksimalkan,” pungkasnya. Sidang promosi doktor tersebut dilanjutkan dengan tanya jawab bersama para penguji.(humas)