Medan, (UIN Sumut)
Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut) Prof Dr Syahrin Harahap, MA menyampaikan, capaian tertinggi pendidikan dan capaian spritualitas manusia adalah moderasi, jika capaian tersebut baik maka pasti akan arif terhadap orang lain, terutama menghadapi perbedaan. Jika orang gusar terhadap orang lain yang tidak sama dengannya berarti pencapaian spiritualnya rendah.
Demikian disampaikannya saat menjadi narasumber dalam program Seminar Nasional Menumbuhkembangkan Budaya Literasi Kebangsaan, Moderasi, Toleransi di Era Digitalisasi yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara di Hotel Santika Dyandra di Jalan Pengadilan Kota Medan, Jumat (8/10). Prof Syahrin mengulas soal konsep dan gagasan moderasi beragama atau wasathiyatul Islam (Islam wasathiyah) dan implikasinya sebagai tujuan pengembangan Islam di Indonesia khususnya di Sumut.
Ia menjelaskan, dalam titik tertentu, prestasi intelektual tertinggi manusia adalah menemukan ketauhidan dan orang yang mencapai klimaks dalam intelektualnya pasti menemukan tauhid. Jadi, bagi orang yang bertauhid jangan marah dan gusar dengan orang yang tidak menemukan tauhid.
Ia meyakini, negeri Indonesia merupakan negeri muslim yang moderat yang sejak dulu menjalankan dan mengedepankan nilai-nilai moderasi dalam beragama. Konsep moderasi itu pula juga sebagai latar belakang pada perumusan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. “Negeri ini dibentuk atas dasar Islam wasathiyah. Moderasi beragama harus menjadi sikap umum generasi muda kita di masa depan,” tukasnya.
Pada awal paparannya, Prof Syahrin menjelaskan, setelah era reformasi terjadi ‘ledakan partisipasi’ dalam berbagai aspek. Semua pihak ingin tampil bicara, berperan melakukan sesuatu untuk eksistensinya dan untuk bangsanya. Termasuk ada bermacam-macam cara beragama yang digerakkan berbagai lembaga atau organisasi dalam umat Islam di Indonesia. “Muncul cara beragama baru, wadah beragama kita dari berbagai tempat dan sekarang menjadi semakin plural dan sangat bermacam-macam,” ujarnya.
Begitu pun, Sumut sejak dulu hadir sebagai pelopor dalam moderasi beragama. Hal ini ditunjukkan ada banyak lembaga kerukunan umat yang muncul berawal dari Sumut dan akhirnya ditarik sebagai lembaga dan gerakan nasional. Di antaranya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), giat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) bahkan MUI yang kini tersistem dan terstruktur dari tingkat daerah hingga pusat.
Menurutnya, konsep kerukunan beragama dan toleransi serta moderasi, bukan hanya soal pendekatan sosial dan politik. Namun meliputi segala aspek. Prof Syahrin meyakini, pesan moderasi merupakan kehendak Tuhan. “Kita diminta moderat dalam beragama, diminta toleran dalam beragama karena secara teologi dan tauhid kita, Tuhan meminta kita untuk melakukan sokap moderasi,” tandasnya.
Ia menerangkan, hadis ulama sebagai pewaris nabi sering diartikan dalam aktivitas penyebaran ajaran Islam, syariat dan soal dakwah. Namun, jelasnya, kita kurang meneruskan pesan sebagai pewaris nabi tersebut dalam hal keragaman dan jarang dalam menyikapi keragaman. Padahal, Prof Syahrin menyampaikan, dalam tingkat tertentu, Nabi Muhammad mempunya guru atau mentor dari kalangan pendeta saat itu. Pendeta yang dihormati nabi karena sebagai sumber informasi terkait nabi sebelumnya yang sampaikan kepada rasul.
Prof Syahrin mengarahkan,agar gagasan ‘warasatul anbiya’ juga diterjemahkan dalam konteks dan menyikapi keragaman dengan pendekatan Islam wasathiyah. Wasathiyah berarti jalan tengah atau pertengahan, dalam penafsiran lebih jauh yaitu berarti tidak terlalu kanan dan tidak terlalu kekiri-kirian, maka perlu mengambil sikap wasathiyah.
Dalam refrensi lain, wasathiyah yang berarti pertengahan berkaitan dengan hati. Artinya, wasathiyah berarti hidup hidup dengan hati, bertindak dan berbicara dengan hati serta mengambil kebijakan dengan hati. “Islam adalah agama penyempurna, maka ia bersifat universal dan merangkul semuanya. Sesuai dengan istilah rahmatan lil ‘alamin,” paparnya.
Berangkat dari agama yang diturunkan Allah adalah Islam, Prof Syahrin menjelaskan konsep Islam besar dan Islam kecil dari refrensi tertentu. islam besar sebagai nama agama yang dimulai dari Nabi Adam, hingga sekarang dan Islam kecil yakni agama yang kita anut sekarang. Jadi, siapapun yang mengamalkan nilai-nilai keislaman tersebut dengan baik, maka ia berada dalam keridhaan Allah. “Umat Islam harus menjadi pemimpin moderasi, menjadi pengatur orkestrasi kehidupan dan bukan membenci selainnya,” tegasnya.
Monumen Moderasi Beragama
Prof Syahrin meyakini, Islam wasathiyah merupakan solusi untuk membawa kemajuan bagi negeri. “Kita harus perjuangkan agar negeri ini maju di masa mendatang dengan moderasi beragama. Dengan saluran sosialisasinya dengan literatur atau literasi keislaman, buku dan tulisan-tulisan dari para cendikiawan dan ulama harus mengarusutamakan moderasi beragama. Begitu pula dengan konten ceramah dan khotbah kita serta isi muzakarah-muzakarah harus mengarahkan soal moderasi,” paparnya.
Gerakan moderasi beragama, jelasnya, saat ini setara dengan gerakan jihad bangsa. “Upaya menegakkan wasathiyatul Islam atau Islam wasathiyah adalah jihad kebangsaan umat Islam, sehingga Indonesia, Sumut khusus punya identitas sebagai pelopor dan penggerak moderasi beragama,” tukasnya.
Terkait itu, ia mengajak Rektor USU Dr Muryanto Amin dan Ketua MUI Sumut serta pemerintah daerah untuk mengusulkan dan mendirikan dibangunnya monumen moderasi bergama dibangun di sekitar Bandara Internasional Kualanamu. Hal itu sebagai pembuktian kepada dunia bahwa anak-anak di Sumut sebagai penggagas awal, pembawa dan penggerak moderasi beragama. Usulan itu, ia harapkan disetujui presiden.
Prof Syahrin menilai, materi yang ditawarkan dalam seminar nasional MUI Sumut ini merupakan hal yang bernas dan relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Topik yang menurutnya tidak banyak lembaga atau institusi yang mau membahas tema tersebut. Ia juga mengapresiasi program seminar tersebut yang menghadirkan berbagai narasumber kompeten lain seperti Rektor USU, membawakan materi toleransi umat beragama, antara tantangan dan harapan, lalu dari MUI pusat, KH Sholahuddin Al-Ayyubi, MSi membawakan materi Islam wasathiyan dalam bingkai NKRI menurut MUI. Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah juga turut mengisi materi dalam seminar tersebut. (Humas)