Medan (UINSU) — IAIN SU yang lahir pada tanggal 19 November 1973, didasarkan pada keinginan terdalam umat Islam Sumatera Utara khususnya para umara dan ulama, akan hadirnya sebuah lembaga Pendidikan Tinggi Islam (Universitas Islam) yang diharapkan dapat melahirkan ulama-intelektual dan intelektual ulama. Ulama intelektual adalah ulama sekaligus cendikiawan yang menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, seperti ilmu Al-Qur’an, Hadis, Fikih, Ushul Fikih, Teologi atau kalam, Tasawuf dan lainnya. Pada saat yangs ama juga menguasai ilmu-ilmu umum, apakah dalam lingkup ilmu alam, ilmu sosial atau humaniora. Upaya memadukan ilmu agama dan ilmu umum ini disebut dengan integrasi-trandisipliner.
Lebih jauh dari itu, dengan kehadiran IAIN SU, kontribusi masyarakat Sumatera Utara khususnya umat Islam dalam pembangunan bangsa akan dapat diwujudkan, khususnya dalam pembangunan bidang keagamaan. Eksistensi agama sangat penting dalam proses pembangunan, tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Perencanaan pembangunan yang tidak melibatkan kaum agamawan sama artinya dengan penyingkiran nilai-nilai dan pesan-pesan agama dalam proses pembangunan itu. Agama telah diposisikan sebagai ajaran yang hanya mengatur kehidupan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pada gilirannya agama akan benar-benar jauh dan terpisah dari kehidupan keseharian umat. Ketika agama dan pembangunan berpisah, maka pada titik itulah gejala sekularisasi menjadi nyata.
Di dalam SK pendirian IAIN.SU ditemukan penjelasan tentang bagaimana proses pembentukan IAINSU. Terang pula pula siapa yang terlibat dan berperan sangat aktif. Jika ingin disimpul, pada saat IAIN berdiri sebenarnya terjalin kebersamaan dan kerjasama yang kuat antara umara (Gubernur, Walikota dan pihak-pihak pemerintahan lainnya) dengan para ulama Sumatera Utara. Indahnya kerjasama ini membuktikan bahwa IAINSU adalah miliki masyarakat Sumatera Utara. Pada saat berpidato ketika meresmikan IAINSU, Prof. Mukti Ali yang kala itu sebagai Menteri Agama mengatakan, “Oleh karena itu, dengan ini kami menitipkan IAIN Jami’ah Sumatera Utara ini kepada Saudara Gubernur, Kepala Daerah, Pemerintah Daerah baik sipil maupun ABRI dan Masyarakat Sumatera Utara. IAIN yang pagi hari ini kita resmikan bersama ini adalah milik kita bersama dan milik saudara-saudara sekalian. Peliharalah dengan baik-baik dan besarkanlah IAIN ini”.
Dalam proses pendirian IAIN SU Medan pada tahun 1973, terdapat satu hal yang amat sangat penting dan selama ini belum sepenuhnya terungkap, kendatipun data yang tersedia itu valid. Sayangnya kurang mendapatkan perhatian dari para peneliti dan penulis sejarah IAIN. Padahal data itu sangat penting dalam konteks langkah yang diambil UINSU belakangan ini. Tegasnya, jika Rektor UINSU TGS, Prof. Dr. Saidurrahman, M. Ag sangat concern pada penegakan nilai-nilai Pancasila yang diterjemahkan kepada anti radikalisasi, anti terorisme, termasuk sekularisme, itu sesungguhnya adalah bagian dari tugas kesejarahan yang dibebankan kepada UINSU Medan sejak 46 tahun yang lalu. Ternyata salah satu alasan lahirnya IAINSU adalah dalam rangka peneguhan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan dan menterjemahkan moral Pancasila dalam aktivitas keseharian.
Di dalam surat Keputusan Menteri Agama No 97 Tahun 1973 tentang Peresmian Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Hukumiah Sumatera Utara di Medan, pada point menimbang terdapat dua hal yang amat menarik. Pertama, Bahwa dalam rangka peningkatan mutu akademis IAIN, khususnya Fakultas-fakultas Tarbiyah dan Syari’ah IAIN Ar-Raniry yang berada di Medan serta Fakultas-Fakultas Tarbiyah dan Ushuluddin IAIN Imam Bonjol yang berada di Padang Sidempuan dipandang perlu mengelompokkan dalam satu Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Hukumiyyah. Kedua, Bahwa hasrat yang sangat besar dari masyarakat Islam daerah Propinsi Sumatera Utara untuk memiliki suatu Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Hukumiyyah, yang berdiri sendiri dengan nama Institut Agama Islam Negeri “Sumatera Utara”. Sejak awal IAINSU memilih nama IAIN-nya dengan nama Sumatera Utara. Berbeda dengan UIN atau IAIN lainnya yang kerap menggunakan nama ulama atau pahlawan terkenal. Kabarnya tokoh masyarakat dan ulama saat itu sulit menentukan satu nama untuk dijadikan nama IAIN, apakah memakai nama ulama atau pahlawan lain. Setelah berdebat, akhirnya kesepakatan jatuh kepada nama “IAIN Sumatera Utara”.
Tidak kalah pentingnya ketika kita membaca diktum ketiga dari keputusan tersebut. Kira-kira bunyinya, sebelum Departemen Agama memiliki anggaran buat IAIN.SU Medan, maka segala sesuatunya dipercayakan kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara, Pemerintah Daerah dan Masyarakat Sumatera Utara. Penjelasan ini sesungguhnya menegaskan peran pemerintah daerah terhadap IAIN-UINSU Medan sangat –sangat penting dan signifikan dan karenanya tidak boleh diabaikan. Tidak dapat dipungkiri, Gubernur Marahalim adalah kunci bagi keberhasilan alih status dan pelepasan fakultas dari IAIN induk (IAIN Ar-Raniry dan IAIN Imam Bonjol) sampai akhirnya IAINSU berdiri sendiri dan menempati tanah dan gedung baru di Jln. Sutomo. Peran Walikota Medan saat itu juga signifikan. Tambahan lagi jalan di depan pintu masuk IAIN juga diabadikan menjadi jalan IAIN.
Oleh karena itu, adalah pantas dan sangat wajar, jika Perpustakaan IAINSU kala itu disebut perpustakaan Marahalim. Saat ini nama Marahalim juga telah ditabalkan menjadi nama salah satu gedung yang ada di IAINSU. Penabalan nama gedung itu adalah cara UINSU menghargai kerja keras Gubernur dalam mewujudkan IAINSU Medan. Demikian juga dengan nama-nama ulama yang menghiasi gedung-gedung UINSU di Jln. Sutomo ataupoun di jln. Pancing, adalah bentuk penghormatan dan penghargaan kepada mereka.
Dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama RI yang ditandatangani oleh H.A. Mukti Ali tanggal 1 November 1973, maka resmilah berdirinya IAIN Sumatera Utara yang mandiri di bawah pimpinan H. Ismail Sulaiman yang dipinjamkan Gubernur Sumatera Utara buat IAIN.SU. Pada saat itu H. Ismail Sulaiman adalah Kepala Direktorat Kesejahteraan Rakyat Kantor Gubernur. Sampai di sini, jelas terlihat peran yang dimainkan Gubernur Sumatera Utara kala itu dalam menopang kelahiran IAINSU yang dalam daftar kementerian Agama sebagai IAIN ke 14. Artinya, IAINSU pernah menjadi IAIN termuda di Indonesia dengan posisi nomor urut 14. Sekarang IAINSU yang telah berubah menjadi UINSU telah berhasil menempatkan dirinya dengan lompatan kuantum, melampaui UIN-UIN lainnya.
Setelah melihat peran Gubernur Marahalim yang sangat penting dan menentukan, penulis ingin fokus pada apa yang disampaikannya pada saat peresmian IAINSU. Pidato Gubernur Marahalim saat itu menjelaskan bahwa berdirinya IAIN secara penuh di Medan adalah sebagai wadah pemeliharaan dan Pengembangan ilmu Pengetahuan, sekaligus berperan untuk menanamkan serta menumbuhkan moral Pancasila dan nilai-nilai 45 kepada generasi muda. Gubernur Marahalim juga berharap agar IAINSU dapat mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran yang merata, suksesnya pembangunan tidak tergantung pada aspek ekonomi semata-mata, tetapi harus disertai dengan aspek-aspek sosial dan politik, dengan memanfaatkan teknologi yang serasi.
IAINSU sebagai perguruan tinggi berfungsi untuk mengembangkan ilmu pengetahun, tentu suatu keharusan. Karena ilmu pengetahuan itulah alasan yang paling kuat mengapa perguruan tinggi harus ada. Demikian juga jika PT ditugaskan berperan serta dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan melakukan pemberdayaan ekonomi, maka itu juga bagian tugas PT. Termasuk dalam bidang sosial budaya dan politik. Hanya saja ketika IAINSU sebagai institusi perguruan tinggi agama diberi tugas dan amanah untuk menumbuhkan moral dan nilai-nilai Pancasila, tentu hal ini menarik sekaligus unik.
Keterkaitan IAINSU dengan Pancasila tidak hanya tanpak pada pidato Gubernur, tetapi juga nyata pada lambang IAINSU yang pertama. Untuk pertama kalinya lambang IAIN terdiri dari ukiran akurawal pada pinggir lambang sebanyak enam buah, delapan sudut pita, kapas, padi, bintang bersudut lima, Ka’bah dan bukit barisan dengan lima puncak. Mengapa Bukit Barisannya lima puncak ? Salah satu tafsirnya adalah untuk mengingatkan sila-sila dari Pancasila. Hal ini lagi-lagi menunjukkan keberadaan Pancasila menjadi amat penting dalam proses kelahiran IAINSU.
Bukti berikutnya adalah berkenaan dengan sambutan Gubernur Sumatera Utara pada Malam Tasyakkur Civitas Academika IAIN Al-Jami’ah pada tanggal 19 November 1973. Dalam sambutannya, Gubernur Marahalim kembali menegaskan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai Falsafah negara. Gubernur mengatakan bahwa, “falsafah negara Pancasila adalah dasar pembanguna kita dibidang pendidikan, yang diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila. Tujuan ini dapat dicapai antara lain dengan, membina kesehatan fisik, meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti serta memperkuat keyakinan beragama. (1973-1974 Buku Tahunan IAIN Sumatera Utara Medan).
Membaca sejarah kelahiran IAINSU yang saat ini telah bertransformasi menjadi UINSU, jelas terlihat bahwa spirit kelahiran UINSU didasarkan pada tiga hal penting. Pertama, Dorongan untuk melahirkan kaum terpelajar, ulama dan intelek yang akan senantiasa memberikan pencerahan kepada umat. Keberadaan UINSU yang saat ini terus tumbuh dan berkembang dengan pesatnya, memberikan keyakinan yang kuat pada masyarakat muslim Sumatera Utara khususnya bahwa UINSU akan senantiasa melahirkan ulama-ulama intelektual. Keberadaan alumni IAIN-UINSU yang saat ini telah mencapai 48.978 orang, yang berkiprah dalam dunia dakwah dan dunia pengabdian lainnya.
Kedua, dorongan yang kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tidak saja pengetahuan agama tetapi juga alam, sosial dan humaniora. Bagi penulis adalah mengejutkan ketika membaca pidato Prif. Mukti Ali pada saat peresmian IAIN.SU. saat itu menteri agama tidak saja bicara Tridharma Perguruan Tinggi yang diterjemahkan dengan Pengajaran dan Pendidikan, Research dan Penelitian (Kedua kata ini dibedakan dalam naskah pidato) dan Kebaktian kepada Masyarakat, tetapi juga bicara tentang interdisipliner. Persoalan masyarakat yang semakin compleceted, menuntut pendekatan mono disiplin ilmu tak lagi memadai. Oleh karena itu diperlukan pendekatan baru, mengintegrasikan ilmu agama dengan teknik, ekonomi dan lainnya.
Ketiga, Sejak awal IAIN-UINSU telah dipersiapkan sebagai laboratorium pengembangan dan pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila. Bagian ini bagi penulis sangat spesial sekali. Mengapa Gubernur Marahalim sangat mendorong IAINSU untuk mengkaji, mengembangkan moral Pancasila untuk selanjutnya disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat ? Jawabnya tentu bisa beragam. Beberapa diantaranya adalah: Pertama, Gubernur menyadari keberadaan bangsa yang majemuk, plural, pastilah sangat membutuhkan kalimat sawa’ atau platform, yang berfungsi sebagai acuan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai warisan bapak pendiri bangsa, sampai saat ini adalah yang terbaik karena dapat menyatukan keragaman bangsa baik agama, suku dan ras. Kedua, Tidak bisa dipungkiri, gejala Islam Phobia masih menguat pada saat itu (tahun 1973). Bahkan dalam kasus IAINSU, sampai tahun 1990-an, di saat IAIN bermaksud mengembangkan ekonomi syari’ah, IAINSU sempat dicurigai. Oleh karena itu, sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), IAINSU diharapkan dapat menjadi jembatan bahkan sebagai motor dalam upaya mengharmoniskan hubungan antara agama dan negara. Setidaknya IAINSU dapat berkontribusi dalam mengurai ketegangan antara agama dan negara seperti yang pernah disinggung Abdullah Aziz Thaba dalam disertasinya.
Untuk sekarang ini, amanah yang diberikan Gubernur Marahalim kepada IAINSU agar “menjaga Pancasila” sebagai Falsafah negara memiliki relevansi yang sangat kuat sekali. UINSU harus berdiri di depan untuk meyakinkan anak bangsa ini, bahwa Pancasila itu sudah Islami tidak saja dilihat dalam pilihan katanya tetapi juga kandungan maknanya. Umat Islam tidak perlu ragu apa lagi mengalami keterpecahan kepribadian (spilit personality) dalam melihat pancasila. Sebagai kelanjutannya, menempatkan NKRI yang berdasarkan Pancasila sebagai “harga mati” juga bagian dari Ijtihad Politik yang insya Allah merupakan ijtihad yang benar. Andaipun salah, masih mendapatkan satu pahala. Menjadi tugas kita selanjutnya adalah mengisi nilai-nilai Pancasila dengan ajaran universal Islam. Tidak kalah pentingnya adalah menjadikan nilai-nilai universal Islam; keadilan, kemaslahatan, persamaan, sebagai nilai dasar dalam penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu, komitmen Rektor TGS, Prof. Dr. Saidurrahman, M. Ag yang akan menjadikan UINSU sebagai Pusat Deradikalisasi Gerakan dan Pemikiran Keagamaan sesungguhnya adalah dalam rangka menterjemahkan apa yang menjadi spirit dan khittah kelahiran IAINSU 46 tahun yang lalu. Dalam satu tarikan nafas, Rektor juga berada di depan dalam rangka penguatan moderasi agama. Semoga upaya ini mendapat ridha Allah SWT. Amin. Selama Dies Natalis UINSU Juara.
(Penulis: Azhari Akmal Tarigan Dosen FKM dan FEBI UINSU Medan. Tulisan ini telah dimuat di Harian Waspada tanggal 29 November 2019)